Kejadian ini berlangsung kira-kira 2 tahun yang lalu, waktu itu aku diminta oleh ibu mertua untuk mengambil suatu barang di rumah kakak ipar perempuanku sekalian menengok dia karena sudah lama tidak ketemu. Kakak iparku ini (sebut saja namanya Febri) memang tinggal sendirian, walaupun sudah k*win tetapi belum punya anak dan saat ini sudah pisah ranjang dengan suaminya yang kerja di kota lain.
Aku sampai di rumahnya sekitar jam 19:00 dan langsung mengetuk pintu pagarnya yang sudah terkunci. Tak lama kemudian Febri muncul dari dalam dan sudah tahu bahwa aku akan datang malam ini.
“Ayo Yan, masuk.., langsung dari kantor?, Sorry pintunya sudah digembok, soalnya Febri tinggal sendiri jadi harus hati-hati”, Sambutnya.
Febri malam itu sudah memakai daster tidur karena toh yang bakalan datang juga masih terhitung adiknya, daster yang dia pakai mempunyai potongan leher yang lebar dengan model tangan ‘you can see’. Kami kemudian ngobrol dan nonton TV sambil duduk bersebelahan di sofa ruang tengah.
Selama ngobrol, Febri sering bolak-balik mengambil minuman dan snack buat kita berdua. Setiap dia menyajikan makanan atau minuman di meja, secara tidak sengaja aku mendapat kesempatan melihat kedalam dasternya yang menampilkan kedua pay*daranya secara utuh karena Febri tidak memakai ** lagi dibalik dasternya.
Febri memang lebih cantik dari istriku. Tubuhnya mungil dengan kulit yang putih dan rambut yang panjang tergerai. Walaupun sudah k*win cukup lama tapi karena tidak punya anak tubuhnya masih terlihat langsing dan ramping. Pay*daranya yang kelihatan olehku, walaupun tidak terlalu besar tetapi tetap padat dan membulat.
Melihat pemandangan begini terus-menerus aku mulai tidak bisa berpikir jernih lagi dan puncaknya tiba-tiba kusergap dan tindih Febri di sofa sambil berusaha menc*umi bib*rnya dan mer*mas-r*mas pay*daranya. Febri kaget dan menjerit, “Yan, apa-apaan kamu ini!”.
Dengan sekuat tenaga dia mencoba berontak, menampar, mencakar dan menendang-nendang. Tapi perlawanannya membuat b*r*hiku semakin tinggi apalagi akibat gerakannya itu pakaiannya menjadi makin tidak karuan dan semakin merangs*ng.
“Breett..”, daster bagian atas kurobek ke bawah sehingga sekarang kedua pay*daranya terpampang dengan jelas. Put*ngnya yang berwarna coklat tua terlihat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Febri terlihat shock dengan kekasaranku, perlawanannya mulai melemah dan kedua tangannya berusaha menutup dad*nya yang terbuka.
“Yan.., ingat, kamu itu adikku..”, rint*hnya memelas.
Aku tidak mempedulikan rint*hannya dan terus kutarik daster yang sudah robek itu ke bawah sekaligus dengan cel*na d*lamnya yang sudah aku tidak ingat lagi warnanya. Sekarang dengan jelas dapat kulihat v*ginanya yang ditumbuhi dengan bulu-bulu hitam yang terawat baik.
Setelah berhasil menel*njangi Febri, kulepaskan pegangan pada dia dan berdiri di sampingnya sambil mulai melepaskan bajuku satu persatu dengan tenang. Febri mulai menangis sambil meringkuk di atas sofa sambil sebisa mungkin mencoba menutupi badannya dengan kedua tangannya.
Saat itu pikiranku mulai jernih kembali menyadari apa yang telah kulakukan tapi pada titik itu, aku merasa tidak bisa mundur lagi dan aku putuskan untuk berlaku lebih halus. Setelah aku sendiri telanj*ng, kubopong tubuh mungil Febri ke kamarnya dan kuletakkan dengan lembut di atas ranjang.
Dengan halus kutepiskan tangannya yang masih menutupi pay*dara dan v*ginanya, kemudian aku mulai menindih badannya. Febri tidak melawan. Febri memalingkan muka dengan mata terpejam dan berurai air mata setiap kali aku mencoba menc*um bib*rnya.
Gagal menc*um bib*rnya, aku teruskan menc*umi telinga, leher dad* dan berhenti untuk meng*lum put*ng dan mer*mas-r*mas pay*dara satunya lagi. Febri tidak bereaksi. Aku lanjutkan petualangan bib*rku lebih ke bawah, perut dan v*ginanya sambil merentangkan pah*nya lebar-lebar terlebih dahulu.
Aku mulai dengan menj*lati dan menghis*p clit*risnya yang cukup kecil karena sudah disunat (sama dengan istriku). Febri mulai bereaksi. Setiap kuhis*p clit*risnya Febri mulai mengangkat pant*tnya mengikuti arah his*pan. Kemudian dengan l*dah, kucoba membuka l*bia minoranya dan memainkan l*dahku pada bagian dalam l*ang sengg*manya.
Tangan Febri mulai mer*mas-r*mas kain sprei sambil menggigit bib*r. Ketika v*ginanya mulai basah kumasukkan jari menggantikan l*dahku yang kembali berpindah ke put*ng pay*daranya. Mula-mula hanya satu jari kemudian disusul dua jari yang bergerak keluar masuk l*ang sengg*manya.
Febri mulai berd*sah dan memalingkan mukanya ke kiri dan ke kanan. Sekitar dua atau tiga menit kemudian aku tarik tanganku dari v*ginanya. Merasakan ini, Febri membuka matanya (yang selama ini selalu tertutup) dan menatapku dengan pandangan penuh harap seakan ingin diberi sesuatu yang sangat berharga tapi tidak berani ngomong.
Aku segera merubah posisi badanku untuk segera menyet*buh*nya. Melihat posisi ‘tempur’ seperti itu, pandangan matanya berubah menjadi tenang dan kembali menutup matanya. Kuarahkan pen*sku ke bib*r v*ginanya yang sudah berwarna merah matang dan sangat becek itu.
Secara perlahan pen*sku masuk ke l*ang sengg*manya dan Febri hanya mengigit bib*rnya. Tiba-tiba tangan Febri bergerak memegang sisa b*tang pen*sku yang belum sempat masuk, sehingga pen*trasiku tertahan.
“Yan, kita tidak boleh melakukan hal ini..”, Kata Febri setengah berbisik sambil memandangku.
Tapi waktu kulihat matanya, sama sekali tidak ada penolakkan bahkan lebih terlihat adanya b*r*hi yang tertahan. Aku tahu dia berkata begitu untuk berusaha memperoleh pembenaran atas perbuatan yang sekarang jadi sangat diinginkannya.
“Tidak apa-apa ‘Na, kita kan bukan saudara kandung, jadi ini bukan incest”, Jawabku.
“Nikmati saja dan lupakan yang lainnya”.
Mendengar perkataanku itu, Febri melepaskan pegangannya pada pen*sku yang sekaligus aku tangkap sebagai instruksi untuk melanjutkan ‘perk*saannya’.
Dalam ‘posisi standard’ itu aku mulai memompa Febri dengan gerakan perlahan, setiap kali pen*sku masuk, aku ambil sisi l*ang sengg*ma yang berbeda sambil mengamati reaksinya. Dari eksperimen awal ini aku tahu bahwa bagian paling sensitif dia terletak pada dinding dalam bagian atas yang kemudian menjadi titik sasaran pen*sku selanjutnya.
Strategi ini ternyata cukup efektif karena belum sampai dua menit Febri sudah org*sme, tangannya yang asalnya hanya mer*mas-r*mas sprei tiba-tiba berpindah ke pant*tku. Febri dengan kedua tangannya berusaha menekan pant*tku supaya pen*sku masuk semakin dalam,
Sedangkan dia sendiri mengangkat dan menggoyangkan pant*tnya untuk membantu semakin membenamnya pen*sku itu. Untuk sementara kubiarkan dia mengambil alih. “sshh.., aahh”, rint*hnya berulang-ulang setiap kali pen*sku terbenam.
Setelah Febri mulai reda, inisiatif aku ambil kembali dengan merubah posisi badanku untuk style ‘pump*ng fl*sh’ untuk mulai memanaskan kembali b*r*hinya yang dilanjutkan dengan style ‘st*nd h*rd’ (kedua kaki Febri dirapatkan, kakiku terbuka dan dikaitkan ke betisnya).
Style ini kuambil karena cocok dengan cewek yang bagian sensitifnya seperti Febri dimana v*gina Febri tertarik ke atas oleh gerakan pen*s yang cenderung vertikal. Febri mengalami dua kali org*sme dalam posisi ini. Ketika gerakan Febri semakin l*ar dan juga aku mulai merasa akan ejak*lasi aku rubah stylenya lagi menjadi ‘fr*gwalk’ (kedua kaki Febri tetap rapat dan aku setengah berlutut/berjongkok).
Dalam posisi ini setiap kali aku tus*kkan pen*sku, otomatis v*gina sampai pant*t Febri akan terangkat sedikit dari permukaan kasur menimbulkan sensasi yang luar biasa sampai pupil mata Febri hanya terlihat setengahnya dan mulutnya mengeluarkan er*ngan bukan rint*han lagi.
“Na, aku sudah mau keluar. Di mana keluarinnya?”, Kataku sambil terus memompa secara pelan tapi dalam.
“ddi dalam saja.., di dalam saja, aahh.., jangan pedulikan”, Febri mejawab ditengah er*ngan ken*kmatannya.
“Aku keluar sekarraang..”, teriakku.
Aku tekan v*ginanya keras-keras sampai terangkat sekitar 10 cm dari kasurnya dan ca*ran ken*kmatan tersemprot dengan kerasnya yang menyebabkan untuk sesaat aku lupa akan dunia.
“Jangan di cabut dulu Yan..”, bisik Febri.
Sambil mengatur napas lagi, aku rentangkan kembali kedua pah* Febri dan aku pompa pen*sku pelan-pelan dengan menekan permukaan bawah v*gina pada waktu ditarik. Dengan cara ini sebagian sp*rma yang tadi disemprotkan bisa dikeluarkan lagi sambil tetap dapat menikmati sisa-sisa b*r*hi. Febri menjawabnya dengan his*pan-his*pan kecil pada pen*sku dari v*ginanya
“Yan, kenapa kamu lakukan ini ke Febri?”, tanyanya sambil memeluk pinggangku.
“Kamu sendiri rasanya gimana?”, aku balik bertanya.
“Mulanya kaget dan takut, tapi setelah kamu berubah memperlakukan Febri dengan lembut tiba-tiba b*r*hi Febri terpancing dan akhirnya turut menikmati apa yang belum pernah Febri rasakan selama ini termasuk dari suami Febri”, Jawabnya.
Kita kemudian mengobrol seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa dan sebelum pulang kuset*buhi Febri sekali lagi, kali ini dengan sukarela. Sejak malam itu, aku ‘memelihara’ kakak iparku dengan memberinya nafkah lahir dan batin menggantikan suaminya yang sudah tidak mempedulikannya lagi. Febri tidak pernah menuntut lebih karena istriku adalah adiknya dan aku membalasnya dengan menjadikan ‘pendamping tetap’ setiap aku pergi ke luar kota atau ke luar negeri.